Sabtu, 13 November 2010

Manfaatkan Cloud Computing...

       Sedikit curhat nih..bagi2 pengalaman dikitlah....ok mari kita mulai.. ^_~
Guys..Hari gini mesti manfaatkan teknologi dong..Salah satunya kerja tugas kelompok supaya adil n rata kerja aja lewat online...manfaatkan dong yang namanya Cloud computing..oh iya supaya Agan2 sekalian ngerti apa itu cloud computing se bahas dikit yah cloud computing itu apa seh??? *hiihihihihi Lebay*

     Cloud computing adalah suatu kumpulan sumberdaya komputasi tervirtualisasi yang dapat diakses dengan mudah. *Bukan saya bilang itu nah yang bilang itu Pak I Made Wiryana kalo nda' kenal tanya mbah Google...hahahaha..Lanjut..* Saat ini beberapa penyedia layanan cloud computing komersial telah banyak tersedia, seperti Amazon Elastic Computer Cloud (EC2) atau google AppEngine.Pada layanan seperti EC2 , pengguna dapat memesan linux virtual server sesuai kebutuhan.

     Salah satu bentuk aplikasi cloud computing yang teman-teman bisa gunakan yaitu google docs. Jadi kalo teman2 mo kerja tugas kelompok nda' mestilah teman2 berkumpul di satu tempat buat ganti gantian ngetik ini itu tinggal manfaatkan saja google docs trus share ke teman2 kelompok anda kasi aja hak buat ngedit jadi lebih adil gitu kalo ada kesalahan yang di tulis teman2 anda bisa anda perbaiki secara OnLEnG kalo pun ada penambahan tulisan secara otomatis ter-Update gitu jadi teman-teman sklian nda' usah sibuk2 ngirim lewat email file yang sudah teman2 edit..Ngerepotin Ajjah...

       Selain google docs ada suatu aplikasi buatanG mikrosop *baca : Microsoft* namana windows live mesh hehehe info ini juga ane dapat dari acara "Talkshow : Save Your Social Energy With Windows Live, Parental Control & Visual Studio 2010 @ Makassar Computer Expo 2010 Di Celebes Convention Centre Makassar" oleh Mugi dan yang menjelaskan panjang lebar mengenai windows live mesh namana bang Taufik Gozali se borong aja dengan berbagai pertanyaan...hahahahaha..secara gitu yah waktu itu saya lagi demen demen nya dengan cloud computing...hahahaha...eh...kok jadi curhat yah...aduh..sorry...lanjut gan...Trus kelebihan dari windows Live mesh ini teman2 bisa meletakkan beberapa file teman2 di servernya microsop yang kapasitas yang di sediakan 5 GB..Weh...lumayan gan..yang jelas jangan taro pilem lah...Jadi teman2 bisa ngedit file teman2 dimana pun teman2 berada bisa di share juga keteman2 yang lain dengan hak akses yang teman2 tentukan...yang penting ada akses internetnya..Teman-teman juga dapat memanfaatkan layanan ini untuk mengakses komputer teman teman dari tempat berbeda secara online..Kerenkan...hihihihi

        Banyak yang bilang kalo Cloud computing adalah masa depan IT banget... *Pak Afif pernah bilang waktu ngajar kapita selekta...kalo teman2 nda' kenal pak afif carimi saja di UIN alauddin Makassar Dosen Jurusan TI*.Namun salah satu kelemahan cloud computing yaitu keamanan data kita tidak lagi menjadi milik kita sendiri namun kita membaginya dengan server yang kita gunakan untuk ngeSave data kita..Kata Richard Stallman "Meletakkan data di layanan cloud computing berarti menyerahkan data kepada pihak ketiga.Kendali akan kerahasiaan data tersebut menjadi lebih kompleks". Jadi intinya semua ada kelebihan dan kekurangannya..tapi kalo di pikir2 tugas tugas bolehlah memanfaatkan cloud computing ini..nda' terlalu bgmana bgamanaji privasi nya...kecuali sih data pemerintah..ini yang bahaya..servernya kalo bisa di taro dalam negeri lah...hehehehe...Ok keknya sudah cukup deh..intinya manfaatkan layanan yang membuat kita menjadi lebih mudah..hidup ini jangan di buat susah...Enjoy with your life guys...
Semoga bermanfaat ^_^

Jumat, 12 November 2010

Logika Terbalik


             Salah satu yang menjadi 'Khas' dalam  Islam adalah ia mengajarkan  kepada kita cara memandang segala sesuatu dengan dua sisi pandang.  Pertama, sisi dimana objek itu kita pandang wujud lahirnya.  Sebut saja ia sudut pandang lahiriah.  Sudut pandang lahiriah, bertumpu kepada sosok fisik dan materi objek tersebut.  Dan kedua, sisi dimana kita memandang sesuatu jauh melampaui batas lahiriah.  Sebut saja dengan sudut pandang ruhiyah.  Karena ia menggunakan kekuatan ruhiyah, kebersihan ruhani, ketajaman iman sebagai kacamatanya. ^_^
            
           Sebagai contoh, memandang kesuksesan berbisnis dengan kacamata lahiriah artinya kita menilai kesuksesan itu karena jerih payah kita, keringat dan kerja keras kita.  Sedang memandangnya dengan sudut pandang ruhiyah, artinya kita meyakini kesuksesan itu sebagai karunia Allah, ujian sekaligus bukti kekuasaan Allah.
            Apakah berarti sisi ruhiyah menafikkan sisi lahiriyah?  Tidak.  Justru sisi pandang ruhiyah memberi tempat terhormat kepada sisi-sisi lahiriyah yang sifatnya teknis dan materi.  Islam menegaskan bahwa yang menyembuhkan penyakit adalah Allah.  Tetapi Islam mewajibkan seorang muslim yang salkit untuk berusaha dan berobat.  Islam mengajarkan bahwa yang memberi rezeki hanyalah Allah, tetapi ia menyuruh manusia bekerja dan membenci meminta-minta.
            Salah satu cara mengasah sudut pandang ruhiyah, seperti diisyaratkan Al Qur’an adalah dengan menggunakan prinsip “logika terbalik”.  Kamsudnye, membiasakan diri untuk selalu mencari hikmah tersembunyi di balik segala hal. 
Logika Kesulitan.  Banyak kesulitan dalam hidup ini.  Banyak pula manusia yang gagal karenanya.  Tak ada perjalanan hidup yang seratus persen mulus.*kalo mulus terus nda' berasa gitu hidupnya...hehehe*  Tetapi Allah menegaskan bahwa di dalam kesulitan itu ada unsur-unsur kemudahan.  Allah bahkan tidak mengatakan, “Sesudah kesulitan ada kemudahan” tapi”Sungguh, beserta kesulitan ada kemudahan” (QS; Al Insyiroh: 5-6).  Ayat ini diulang dua kali.  Dengan menggunakan logika terbalik seperti itu, kita bisa menghayati sepenuh hati *Lebay* dan merasakan bahwa unsur-unsur yang ada pada kesulitan itu pada saat yang sama ada yang menjadi simpul-simpul jalan bagi kemudahan yang datang menyertainya.
Begitulah sudut pandang seorang mukmin terhadap segala hal seharusnya tidak terpaku pada sisi-sisi lahiriyah, justru yang utama adalah sudut pandang ruhiyah.  Dengan itulah kita meyakini selalu ada hikmah di balik segala hal.  Selalu ada kekuasaan Allah di balik segala peristiwa.  Bahkan segala yang diberikan Allah adalah baik bagi kita.  Keyakinan itu akan memberi kita tingkat ketenangan yang tinggi. ^_^
           

Belajar Dari Tukang Parkir

Tukang parkir.  Ada hal yang menarik untuk diperhatikan sebagai perumpamaan dari seorang tukang parkir.  Meski begitu banyak dan beraneka ragam jenis mobil yang ada di pelataran parkirnya, mengapa dia tidak menjadi sombong.  Bahkan, walaupun berganti-ganti setiap saat dengan yang lebih bagus atau pun dengan yang lebih sederhana sekalipun, tidak akan mempengaruhi penerimaannya.  Dia senantiasa bersikap biasa-biasa saja.
            Luar biasa jiwa seorang tukang parkir.   Jarang kita lihat ada tukang parkir yang petantang petenteng memamerkan mobil-mobil yang ada di lahan parkirnya.  Lain waktu ketika mobil-mobil itu satu per satu meninggalkan lahan parkirnya, bahkan sampai kosong ludes sama sekali, hal itu tidak menjadikan dia stress.  Kenapa bisa demikian?  Tiada lain karena tukang parkir ini tidak merasa memiliki, melainkan merasa sekedar dititipi.  Ternyata inilah rumus hidup si tukang parkir.
            Seharusnya begitulah sikap kita menghadapi dunia ini.  Punya harta melimpah, deposito jutaan rupiah, pun mobil keluaran terbaru paling mewah, tidak menjadi sombong sikap kita karenanya.  Begitu pula sebaliknya, ketika harta diambil, jabatan dicopot, mobil dicuri, tidak menjadi stress dan putus asa.  Suka-suka yang menitipkan, mau diambil sampai tandas dan ludes sekalipun, silahkan saja.  Toh kita memang sekedar dititipi.
            Andaikata kita merasa lebih tentram dengan sejumlah tabungan di bank, saham di sejumlah perusahaan ternama, real estate investasi di sejumlah kompleks perumahan mewah atau sejumlah perusahaan multi nasional yang dimiliki, maka itu berarti dalam diri kita belum tampak nilai zuhud.  Seberapa besar uang pun tabungan kita, seberapa banyak saham pun yang dimiliki, sebanyak apa pun asset yang dikuasai, seharusnya kita tidak merasa lebih tentram dengan jaminan itu semua.  Karena semua itu tidak akan datang kepada kita, kecualai dengan ijin Allah SWT.  Dia-lah Maha Pemilik apa pun yang ada di dunia ini.
            Rasulullah SAW pernah bertutur, “Zuhud terhadap kehidupan dunia adalah tidak menganggap apa yang ada pada dirimu lebih pasti dari pada apa yang ada pada Allah.” (HR. Ahmad)

Tuhan yang Disaksikan Bukan Tuhan yang Didefinisikan


ALKISAH, seorang Arab Badawi bermaksud menjual sekarung gandum ke pasar. Berulangkali ia mencoba meletakkan karung itu di atas punggung unta; dan berulangkah ia gagal. Ketika ia hampir putus asa, terkilas pada pikirannya pemecahan yang sederhana. Ia mengambil satu karung lagi dan mengisinya dengan pasir. Ia merasa lega, ketika kedua karung itu bergantung dengan seimbang pada kendaraannya. Segera ia berangkat ke pasar.
Di tengah jalan, ia bertemu dengan seorang asing yang berpakaian compang-camping dan berkaki telanjang. Ia diajak oleh orang asing itu untuk berhenti sejenak, beristirahat, dan berbincang-bincang. Sebentar saja, orang Badawi itu menyadari bahwa yang mengajaknya berbincang itu orang yang banyak pengetahuan. Ia sangat terkesan karenanya. Tiba-tiba, orang asing itu menyaksikan dua buah karung bergantung pada punggung unta.
"Bapak, katakan apa yang bapak angkut itu; kelihatan sangat berat", tanya orang asing itu. "Salah satu karung itu berisi gandum yang akan saya jual ke pasar. Satu lagi karung berisi pasir untuk menyeimbangkan keduanya pada punggung unta", jawab orang Badawi. Sambil tertawa, orang pintar itu memberi nasehat, "Mengapa tidak ambil setengah dari karung yang satu dan memindahkannya ke karung yang lain. Dengan begitu, unta menanggung beban yang ringan dan ia dapat berjalan lebih cepat."
Orang Badawi takjub. Ia tidak pernah berpikir secerdik itu. Tetapi sejenak kemudian, ketakjubannya berubah menjadi kebingungan. Ia berkata, "Anda memang pintar. Tapi dengan segala kepintaran ini mengapa Anda bergelandangan seperti ini, tidak punya pekerjaan dan bahkan tidak punya sepatu. Mestinya kepandaian Anda yang dapat mengubah tembaga menjadi emas akan memberikan kekayaan kepada Anda."
Orang asing itu menarik nafas panjang, "Jangankan sepatu, hari ini pun saya tidak punya uang sepeser pun untuk makan malam saya. Setiap hari, saya berjalan dengan kaki telanjang untuk mengemis sekerat atau dua kerat roti."
"Lalu apa yang Anda peroleh dengan seluruh kepandaian dan kecerdikan Anda itu."
"Dari semua pelajaran dan pemikiran, aku hanya memperoleh sakit kepala dan khayalan hampa. Percayalah, semuanya itu hanya bencana bagiku, bukan keberuntungan."
Orang Badawi itu berdiri, melepaskan tali unta, dan bersiap-siap untuk pergi. Kepada filsuf yang kelaparan di pinggir jalan, ia memberi nasehat, "Hai, orang yang tersesat. Menjauhlah dariku, karena aku kuatir kemalanganmu akan menular kepadaku. Bawalah semua kepandaianmu itu sejauh-jauhnya dariku. Sekiranya dengan ilmumu itu kamu ambil suatu jalan, aku akan mengambil jalan yang lain. Sekarung gandum dan sekarung pasir boleh jadi berat; tetapi itu lebih baik daripada kecerdikan yang sia-sia. Anda boleh jadi pandai, tetapi kepandaian Anda itu hanya kutukan; saya boleh jadi bodoh, tapi kebodohan saya mendatangkan berkat, karena walaupun saya tidak cerdik, tetapi hati saya dipenuhi rahmat-Nya dan jiwa saya berbakti kepada-Nya."
Kisah Jalal al-Din Rumi, yang saya ceritakan kembali dengan bahasa saya itu, merupakan kritik halus kepada para filsuf yang berusaha mengetahui Tuhan dengan akalnya. Moral cerita ini ditutup dengan kuplet-kuplet berikut:
Jika kau ingin derita
benar-benar hilang dari hidupmu
Berjuanglah untuk melepaskan
'kebijakan' dari kepalamu
Kebijakan yang lahir dari tabiat insani
tak menarik kamu lebih dari khayalan
Karena kebijakan itu tidak diberkati
yang mengalir dari cahaya kemuliaan-Nya
Pengetahuan tentang dunia
hanya memberikan dugaan dan keraguan
Pengetahuan tentang Dia, kebijakan ruhani sejati
membuatmu naik keatas duniawi
Para ilmuwan masa kini telah menghempaskan
semua pengorbanan diri dan kerendahan hati
Mereka sembunyikan hati
dalam kecerdikan dan permainan bahasa
Raja sejati adalah dia
yang menguasai pikirannya
Bukan dia yang pikirannya
Menguasai dunia dan dirinya
Rumi menunjukkan bahwa dengan intelek kita tidak akan memperoleh pengetahuan tentang Tuhan. Intelek mempunyai kemampuan terbatas; dan karena itu, tidak akan mampu menyerap Tuhan yang tidak terbatas. Sekiranya intelek mencoba memahami Tuhan, ia akan memberikan batasan kepada-Nya. Tuhan para pemikir adalah Tuhan yang didefinisikan.
Rumi mewakili para sufi yang ingin mengetahui Tuhan melalui pengabdian, bukan pemikiran; melalui cinta, bukan kata; melalui taqwa bukan hawa. Mereka tidak ingin mendefinisikan Tuhan; mereka ingin menyaksikan Tuhan. Dengan menggunakan intelek, kita hanya akan mencapai pengetahuan yang dipenuhi keraguan dan kontroversi. Melalui mujahadah dan 'amal, kita dapat menyaksikan Tuhan dengan penuh keyakinan.
Dalam Matsnawi, Daftar-e Sevon, Bait 1267, Rumi menyingkatkan pengetahuan hasil pemikiran: Az nazar keh guftesyan syud mukhtalef, an yeki dalesy laqb dad in alef. Karena pemikiran ucapan mereka bertentangan, kata yang satu dal kata yang satu alif. Seperti Kucing Schroedinger dalam fisika, pengamat menciptakan realitas. Tuhan menjadi hasil konstruksi manusia. Tuhan dapat muncul dalam berbagai "bentuk" sesuai dengan siapa yang memahami-Nya.
Seperti Rumi, Ibn 'Arabi menunjukkan kekeliruan pengetahuan tentang Tuhan yang dilakukan oleh para filsuf dan ahli ilmu kalam. Pemikiran tidak mungkin mencapai pengetahuan yang sebenarnya tentang Tuhan; malahan pemikiran seperti itu hanya menghasilkan tipuan, khayalan, dan pertentangan. Ia menulis:
Pengetahuan ahli ilmu kalam dan filsuf berkenaan dengan esensi Tuhan bukanlah cahaya. Tidak ada satu madzhab pun yang tidak punya para pendukungnya. Mereka sendiri tidak sepakat, tetapi mereka tetap juga digambarkan sebagai kaum Mu'tazilah atau Asy'ariyah, seperti itu juga pada filsuf dalam ajaran mereka tentang Tuhan dan apa yang harus dipercayainya. Mereka belum sepakat di antara mereka tetapi setiap kelompok mempunyai status dan nama ... Kita melihat nabi dan rasul yang terdahulu dan yang kemudian sejak Adam sampai Muhammad, termasuk yang datang di antara mereka 'alayhim al-salam; mereka tidak pernah berikhtilaf dalam akar keimanan mereka pada Tuhan ... Jadi, berpegang-teguhlah kepada keimanan dan lakukanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu dan ingat Tuhanmu pada waktu pagi dan sore (Q., s. alA'raf/7:205) dengan zikir yang ditetapkan syari'at kepadamu baik dengan mengulangi la ilaha illaAllah (tahlil) atau tasbih dan takutlah kepada Tuhan. Jika al-Haqq berkehendak untuk memberikan kepadamu apa yang Dia iginkan berupa pengetahuan tentang Dia, hadirkan akalmu dan hatimu (lubb) apa yang Dia berikan dan anugerahkan kepadamu berupa pengetahuan tentang Dia. Sesungguhnya inilah pengetahuan yang bermanfaat dan cahaya yang dengan itu hatimu hidup, dan berjalan bersamamu di dunia ini. Dengannya kamu selamat dari kegelapan syubhat dan keraguan yang terjadi pada pengetahuan yang dihasilkan oleh pemikiran (afkar) ... Saya sudah membimbingmu, saudara, bagaimana mencapai jalan pengetahuan yang bermanfaat. Jadi, bila kamu sudah merintis jalan yang lurus, ketahuilah bahwa Tuhan sudah membimbing tanganmu, memeliharamu, dan telah mempersiapkan kamu untuk diri-Nya.
Pada tempat lain, Ibn 'Arabi menulis:
Di antara berbagai kelompok, tidak ada seorang pun yang lebih tinggi dari orang yang memperoleh pengetahuan melalui taqwa. Taqwa terletak pada tingkat pencapaian pengetahuan yang paling tinggi. Ia saja yang memiliki keputusan yang pasti. Otoritasnya berada di atas setiap keputusan yang ada dan di atas setiap orang yang membuat keputusan. Ia adalah qadli yang terbaik. Pengetahuan ini tidak dapat diperoleh pada tingkat permulaan. Karena itu, hanya orang yang berilmu di antara orang yang beriman yang dipilih untuk memperolehnya: yakni, mereka yang tahu bahwa ada Seseorang untuk kembali, dan menyaksikan-Nya dapat diraih. Jika mereka jahil dari pengetahuan ini, aspirasinya (himmah) akan sangat lemah sehingga sekiranya al-Haqq menampakkan diri-Nya (tajalli) kepada mereka, mereka akan menafikan-Nya dan menolak-Nya, karena pandangan mereka dibatasi (muqayyad) oleh sesuatu. Selama faktor pembatas itu tidak ada pada waktu penampakan diri-Nya (tajalli), mereka pasti akan menolak bahwa itu Tuhan, sekalipun Tuhan berbicara kepada mereka secara langsung atau mereka mendengar ucapan bahwa Dia itu Tuhan. Karena tidak memperoleh ilham dan karena pemikiran rasional mereka meyakinkan mereka bahwa tidak mungkin siapa pun dapat melihat al-Haqq --seperti para filsuf dan kaum Mu'tazilah-- bahkan sekiranya kita mengetahui-Nya, mereka niscaya menolak-Nya dalam penampakan-Nya kepada mereka. Diperlukan bagi orang beriman agar cahaya imannya membawanya kepada apa yang telah membawa Musa a.s. ketika ia bertanya: Ya Tuhanku, tampakkan diri-Mu kepadaku agar aku dapat melihat-Mu (Q., s. al-A'raf/7:143).
Apa yang dikritik Ibn 'Arabi dan para sufi lainnya bukan intelek dalam pengertian akal, tetapi salah satu di antara fakultas (quwwah) dibawah kekuasaan akal. Kekuatan itu disebut daya pikir (quwwah mufakkirah). Tidak mungkin kita mengulas epistemologi Ibn 'Arabi di sini, baik karena keterbatasan waktu maupun karena sudah adanya tulisan orang lain yang lebih lengkap. Tetapi secara singkat bisa kita katakan, bahwa Ibn 'Arabi menyatakan bahwa pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat diperoleh bila intelek dihadapkan kepada hati dan mengambil pelajaran dari hati.
Sekali intelek diyakinkan tentang perlunya mengambil pelajaran dari hati, manusia memulai kelahiran baru dalam perjalanan panjangnya. Ia akan beristirahat di tempat tinggalnya, berhenti di daerah-daerah pedesaan, merasakan situasi baru setiap saat, menunggu dengan penuh gairah apa yang bakal datang, tetapi ia tidak akan pernah sampai, karena pengetahuan tidak punya akhir dan tidak ada batasnya.
Pengetahuan yang diperoleh melalui hati adalah pengetahuan yang sejati. Pengetahuan ini tidak didasarkan pada pendefinisian Tuhan, tetapi pada penyaksian Tuhan. Dalam istilah al-Qur'an, pengetahuan ini disebut pertemuan (liqa'). Bersama Ibn 'Arabi, al-Ghazali, al-Nasafi, dan tokoh-tokoh sufi lain sepanjang zaman kita diberi petunjuk bagaimana sampai kepada Pertemuan Agung ini.
Sebelum saya mengakhiri makalah ini dengan petunjuk Ibn'Arabi dalam Risalah al Anwar fi ma Yumnah al-Khalkwah min al-Asrar, saya tergoda untuk mengutip al-Syaykh Ahmad Rifa'i al-Husayni, tokoh sufi yang hidup pada abad keenam Hijriyah:
Kebanyakan orang mengetahui Tuhan melalui berita tentang Tawhid yang dibawa dari Nabi Muhammad s.a.w. Mereka membenarkannya dengan hati, mengamalkannya dengan tubuh, tetapi mengotori diri mereka dengan dosa dan maksiat. Maka hiduplah mereka di dunia dalam kebodohan dan kekurangan. Mereka berada dalam bahaya besar kecuali yang disayangi oleh Yang Pengasih dari segala yang mengasihi.
Lebih tinggi dari itu, ada sekelompok manusia yang mengenal Tuhan dengan pembuktian. Mereka adalah ahli pikir, nalar, dan akal. Mereka meyakini tawhid berdasarkan dalil, ayat-ayat, dan tanda-tanda ketuhanan. Mereka mengetahui yang gaib atas dasar yang konkret. Mereka meyakini kebenaran dalil. Mereka berada pada jalan yang benar, hanya saja, mereka terhalang tirai dari Allah Ta'ala dengan perhatian mereka kepada dalil-dalil mereka.
Ahli ma'rifat khusus mengetahuinya dengan keyakinan yang paling utama. Mereka tenteram dalam pengetahuan mereka. Tidak merisaukan mereka dalil. Tidak memalingkan mereka sebab. Dalil mereka Rasulullah s.a.w. Iman mereka al-Qur'an. Cahaya mereka menerangi di hadapan mereka.
Barangsiapa yang mengenal Allah Ta'ala berdasarkan berita maka ia seperti saudara-saudara Yusuf ketika mengetahui rupanya tapi tidak menyadarinya, sehingga mereka dipermalukan di hadapannya, ketika mereka berkata: jika ia mencuri maka sesunggulmya saudaranya telah mencuri pula sebelum itu (Q., s. Yusuf/12:77).
Barangsiapa yang mengenal Tuhan dengan dalil maka ia seperti Ya'qub a.s. ketika tahu bahwa Yusuf masih hidup, sehingga bertambah-tambah tangisan dan penderitaannya, sehingga ditanggungnya berbagai bala sampai putih matanya karena kesedihan, karena tahu bahwa Yusuf masih hidup dan karena rindu untuk berjumpa dengannya. Ia berkata: Pergilah selidiki keadaan Yusuf, aku sudah mencium bau Yusuf. Karena ucapannya itu, orang-orang yang tidak tahu berkata; Demi Allah sesungguhnya engkau dalam kesesatanmu yang terdahulu (Q.,s.Yusuf/12:59). Mereka berkata: Demi Allah, senantiasa kamu mengingat Yusuf sehingga kamu mengidap penyakit yang berat atau termasuk orang-arang yang celaka (Q., s. Yusuf/12:85).
Perumpamaan orang yang mengenal Tuhan melalui Tuhan adalah seperti Bunyamin yang diambil Yusuf untuk dirinya. Yusuf berkata: "Saudaraku, apakah kamu ingin menyaksikanku atau kembali kepada bapakmu?" Ia berkata: "Aku ingin menyaksikanmu". Yusuf berkata: "Jika kamu menginginkan aku, bersabarlah atas ujianku". Ia berkata: "Aku siap, karena engkau akan kupikul segala bencana asalkan aku tinggal bersamamu dan tidak berpisah denganmu". Kemudian Yusuf mengeluarkan gandum dari kantong Bunyamin dan menuduh saudaranya mencuri. Seluruh penduduk kola mengecam dan mengejek Bunyamin. Saudara-saudaranya mempersalahkannya. Tetapi ia sendiri bergembira, tertawa dalam kesendiriannya. Ia tidak takut pada ejekan orang-orang yang mengejek. Inilah perumpamaan ahli yaqin dalam pengetahuan mereka tentang Tuhan.

Dikutip dari Tulisan : Kang Jalaluddin Rakhmat

Semoga bermanfaat...^_^
Salam..


Fanatisme Madzhab

Sekali kali Belajar sejarah...hehehehe...Lagi mood aja nulis2 artikel ini meskipun ada beberapa hasil copas...hahahahaha...Tapi intinya sekedar pembelajaran githu...^_^

Asad Haydar menyebut tahun 645 Hijrah sebagai tahun ditetapkannya empat mazhab sebagai madzhab yang diakui khilafah Islam waktu itu. Para ulama dari keempat madzhab diundang ke istana. Walau begitu, gejala fanatisme madzhab dapat dilacak sejak abad IV Hijrah. Seperti telah disampaikan pada tulisan terdahulu, kekuasaan sangat berperan dalam menyuburkan fanatisme madzhab. Untuk mempertahankan keunggulan madzhabuya, para pengikutnya meriwayatkan mitos di sekitar para imam madzhabnya. Kadang-kadang riwayat-riwayatnya dinisbahkan pada Nabi Muhammad saw.

Konon Nabi Muhammad saw pernah berkata: "Semua nabi bangga denganku dan aku bangga dengan Abu Hanifah. Siapa yang mencintai Abu Hanifah ia mencintaiku, siapa yang membenci Abu Hanifah ia membenciku. Di antara karamah Abu Hanifah ialah bergurunya Nabi Khidr kepadanya. Ia belajar pada Abu Hanifah setiap waktu Subuh selama lima puluh tahun. Ketika Abu Hanifah wafat, Nabi Hidhir mohon agar ia diizinkan tetap berguru padanya di alam kubur, supaya ia dapat mengajarkan syari'at Islam secara lengkap. Allah mengizinkannya. Ia kemudian menyelesaikan kuliah dari Abu Hanifah selama 25 tahun lagi.

Diriwayatkan oleh para pengikut Maliki bahwa pada paham Imam Malik sudah tertulis Malik Hujatullah di bumi. Tentang Imam

Syafi'i, katanya, Rasul Allah saw bersabda: "Ya Allah berilah petunjuk pada suku Quraiysy, karena seorang alimnya akan memenuhi seluruh bumi dengan ilmunya." Orang alim itu adalah Imam Syafi'i. Mengenai Imam Ahmad bin Hanbal Abdullah al-Sajastany berkata: "Aku pernah melihat Rasul Allah saw dalam mimpi. Aku bertanya: "Ya Rasul Allah, siapakah yang engkau tinggalkan, yang patut kami ikuti di zaman kami?" Rasul Allah saw menjawab: "Aku tinggalkan bagimu Ahmad bin Hanbal."

Dengan berbagai "keutamaannya" itulah, pengikutnya mensakralkan fatwa para mujtahid. Fatwa mujtahid lebih didulukan dari ayat al-Qur'an dan al-Sunnah. Al-Fakhr al-Razy menceritakan pengalamannya ketika ia menafsirkan: afala yatadabbarun al-Qur'an. Aku pernah menyaksikan sekelompok faqih yang taklid, memandangku dengan heran bila aku bacakan ayat-ayat al-Qur'an tentang beberapa masalah yang bertentangan dengan madzhab mereka. Mereka tidak mau menerimanya bahkan tidak mau menelitinya. Mereka heran bagaimana mungkin mengamalkan zhahirnya ayat-ayat itu, padahal ulama dari madzhab mereka terdahulu tidak pernah mengamalkannya.

Abu Sulayman al-Khaththaby mengisahkan suasana zaman itu: Saya lihat ahli ilmu dewasa itu terbagi menjadi dua kelompok: pendukung hadits dan atsar dan ahli fiqh dan fikir. Padahal keduanya sama-sama dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan dalam menuju cita-cita kehidupan. Itu karena hadits bagaikan fondasi, sedangkan fiqh bagaikan bangunannya. Setiap bangunan yang fondasinya tidak kokoh, maka akan cepat roboh. Setiap fondasi tanpa bangunan, maka akan sunyi dan lekas rusak. Saya lihat kedua kelompok ini saling berdekatan tempat tinggalnya dan sebetulnya saling membutuhkan. Namun, karena rasa harga diri mereka yang sangat tajam, keduanya menjadi ikhwan yang saling berjauhan: mereka tak menampakkan sikap saling membantu dan menolong di jalan yang hak.

Kedua kelompok itu, pertama, kelompok ahli hadits dan atsar rata-rata berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan pemisahan hadit-hadits gharib dan syadz --hadits-hadits yang kebanyakan mawadhu' dan maqlub. Mereka tidak memelihara matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya, dan tidak mengungkapkan kandungan fiqhnya.

Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencacad mereka dan menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha.

Sedangkan kelompok kedua, yakni ahli fiqh dan fikir, kebanyakan tidak memilih-milih hadits, kecuali sebagian kecil. Mereka hampir tidak bisa membedakan hadits yang shahih dan hadits yang dhaif, yang bagus dan yang buruk. Mereka tidak mempedulikan hadits-hadits yang dikuasai dan yang digunakan untuk mempertahankan argumentasinya di hadapan lawan bila hadits-hadits tersebut telah sesuai dengan madzhab yang mereka ikuti dan pendapat yang mereka yakini. Mereka sepakat menerima hadits dhaif dan munqathi' bila telah masyhur di kalangan mereka dan telah membibir dalam percakapan mereka, walau tidak didukung satu dalil pun atau tidak meyakinkan. Yang demikian adalah suatu kesesatan dan penipuan ra'yu.

Apabila diriwayatkan pada mereka hasil ijtihad para tokoh madzhab mereka atau para ahli dari aliran mereka, mereka segera mencari kepercayaan umat terhadapnya, namun mereka tidak ikut bertanggungjawab.

Saya lihat para pendukung Malik tidak menerima riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu al-Qasim (Rasul Allah), ashhab (para sahabat), dan para pendahulu yang setingkat dengan mereka. Maka pendapat yang datang dari Al-Hakam tidak memiliki keistimewaan di mata mereka. Mereka mau menerima riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan para tokoh sahabat serta murid-muridnya yang lain. Bila pendapat itu datang dari al-Hasan ibn Ziyad dan pendapatnya berbeda dengan riwayat yang melalui mereka, mereka tidak akan menerima. Begitu juga para pengikut al-Syafi'i. Mereka hanya menerima riwayat al-Muzany dan al-Raby ibn Sulayman al-Murady. Maka bila datang riwayat Harmalah, al-Jiziy dan sebagainya, mereka tak memperhatikan dan tak menganggapnya sebagai pendapat al-Syafi'i.

Demikianlah keumuman sikap setiap kelompok terhadap madzhab imam dan gurunya masing-masing.

Fanatisme madzhab bukan saja telah menghambat pemikiran, menghancurkan otak-otak cemerlang, tapi juga menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslim. Dalam sejarah, telah terjadi beberapa kali, mereka saling mengkafirkan yang kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.

Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi'i memegang kekuasaan. Ia selalu mengecam Ahmad ibn Hanbal dan para pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme. Dengan bantuan penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa. Pengikut al-Qusyayry menutup pintu-pintu pasar madrasah Nizhamiyah. Lalu, terjadilah pertumpahan darah antara kedua golongan. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil kedua belah pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata: "Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian terjadi di antara orang yang memperebutkan kekuasaan atau kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami kafir dan kami menganggap orang-orang yang aqidahnya tidak sama dengan kami juga kafir. Maka perdamaian macam apa yang bisa berlaku di antara kami."

Semoga Bermanfaat..^_^