Jumat, 12 November 2010

Fanatisme Madzhab

Sekali kali Belajar sejarah...hehehehe...Lagi mood aja nulis2 artikel ini meskipun ada beberapa hasil copas...hahahahaha...Tapi intinya sekedar pembelajaran githu...^_^

Asad Haydar menyebut tahun 645 Hijrah sebagai tahun ditetapkannya empat mazhab sebagai madzhab yang diakui khilafah Islam waktu itu. Para ulama dari keempat madzhab diundang ke istana. Walau begitu, gejala fanatisme madzhab dapat dilacak sejak abad IV Hijrah. Seperti telah disampaikan pada tulisan terdahulu, kekuasaan sangat berperan dalam menyuburkan fanatisme madzhab. Untuk mempertahankan keunggulan madzhabuya, para pengikutnya meriwayatkan mitos di sekitar para imam madzhabnya. Kadang-kadang riwayat-riwayatnya dinisbahkan pada Nabi Muhammad saw.

Konon Nabi Muhammad saw pernah berkata: "Semua nabi bangga denganku dan aku bangga dengan Abu Hanifah. Siapa yang mencintai Abu Hanifah ia mencintaiku, siapa yang membenci Abu Hanifah ia membenciku. Di antara karamah Abu Hanifah ialah bergurunya Nabi Khidr kepadanya. Ia belajar pada Abu Hanifah setiap waktu Subuh selama lima puluh tahun. Ketika Abu Hanifah wafat, Nabi Hidhir mohon agar ia diizinkan tetap berguru padanya di alam kubur, supaya ia dapat mengajarkan syari'at Islam secara lengkap. Allah mengizinkannya. Ia kemudian menyelesaikan kuliah dari Abu Hanifah selama 25 tahun lagi.

Diriwayatkan oleh para pengikut Maliki bahwa pada paham Imam Malik sudah tertulis Malik Hujatullah di bumi. Tentang Imam

Syafi'i, katanya, Rasul Allah saw bersabda: "Ya Allah berilah petunjuk pada suku Quraiysy, karena seorang alimnya akan memenuhi seluruh bumi dengan ilmunya." Orang alim itu adalah Imam Syafi'i. Mengenai Imam Ahmad bin Hanbal Abdullah al-Sajastany berkata: "Aku pernah melihat Rasul Allah saw dalam mimpi. Aku bertanya: "Ya Rasul Allah, siapakah yang engkau tinggalkan, yang patut kami ikuti di zaman kami?" Rasul Allah saw menjawab: "Aku tinggalkan bagimu Ahmad bin Hanbal."

Dengan berbagai "keutamaannya" itulah, pengikutnya mensakralkan fatwa para mujtahid. Fatwa mujtahid lebih didulukan dari ayat al-Qur'an dan al-Sunnah. Al-Fakhr al-Razy menceritakan pengalamannya ketika ia menafsirkan: afala yatadabbarun al-Qur'an. Aku pernah menyaksikan sekelompok faqih yang taklid, memandangku dengan heran bila aku bacakan ayat-ayat al-Qur'an tentang beberapa masalah yang bertentangan dengan madzhab mereka. Mereka tidak mau menerimanya bahkan tidak mau menelitinya. Mereka heran bagaimana mungkin mengamalkan zhahirnya ayat-ayat itu, padahal ulama dari madzhab mereka terdahulu tidak pernah mengamalkannya.

Abu Sulayman al-Khaththaby mengisahkan suasana zaman itu: Saya lihat ahli ilmu dewasa itu terbagi menjadi dua kelompok: pendukung hadits dan atsar dan ahli fiqh dan fikir. Padahal keduanya sama-sama dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan dalam menuju cita-cita kehidupan. Itu karena hadits bagaikan fondasi, sedangkan fiqh bagaikan bangunannya. Setiap bangunan yang fondasinya tidak kokoh, maka akan cepat roboh. Setiap fondasi tanpa bangunan, maka akan sunyi dan lekas rusak. Saya lihat kedua kelompok ini saling berdekatan tempat tinggalnya dan sebetulnya saling membutuhkan. Namun, karena rasa harga diri mereka yang sangat tajam, keduanya menjadi ikhwan yang saling berjauhan: mereka tak menampakkan sikap saling membantu dan menolong di jalan yang hak.

Kedua kelompok itu, pertama, kelompok ahli hadits dan atsar rata-rata berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan pemisahan hadit-hadits gharib dan syadz --hadits-hadits yang kebanyakan mawadhu' dan maqlub. Mereka tidak memelihara matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya, dan tidak mengungkapkan kandungan fiqhnya.

Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencacad mereka dan menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha.

Sedangkan kelompok kedua, yakni ahli fiqh dan fikir, kebanyakan tidak memilih-milih hadits, kecuali sebagian kecil. Mereka hampir tidak bisa membedakan hadits yang shahih dan hadits yang dhaif, yang bagus dan yang buruk. Mereka tidak mempedulikan hadits-hadits yang dikuasai dan yang digunakan untuk mempertahankan argumentasinya di hadapan lawan bila hadits-hadits tersebut telah sesuai dengan madzhab yang mereka ikuti dan pendapat yang mereka yakini. Mereka sepakat menerima hadits dhaif dan munqathi' bila telah masyhur di kalangan mereka dan telah membibir dalam percakapan mereka, walau tidak didukung satu dalil pun atau tidak meyakinkan. Yang demikian adalah suatu kesesatan dan penipuan ra'yu.

Apabila diriwayatkan pada mereka hasil ijtihad para tokoh madzhab mereka atau para ahli dari aliran mereka, mereka segera mencari kepercayaan umat terhadapnya, namun mereka tidak ikut bertanggungjawab.

Saya lihat para pendukung Malik tidak menerima riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu al-Qasim (Rasul Allah), ashhab (para sahabat), dan para pendahulu yang setingkat dengan mereka. Maka pendapat yang datang dari Al-Hakam tidak memiliki keistimewaan di mata mereka. Mereka mau menerima riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan para tokoh sahabat serta murid-muridnya yang lain. Bila pendapat itu datang dari al-Hasan ibn Ziyad dan pendapatnya berbeda dengan riwayat yang melalui mereka, mereka tidak akan menerima. Begitu juga para pengikut al-Syafi'i. Mereka hanya menerima riwayat al-Muzany dan al-Raby ibn Sulayman al-Murady. Maka bila datang riwayat Harmalah, al-Jiziy dan sebagainya, mereka tak memperhatikan dan tak menganggapnya sebagai pendapat al-Syafi'i.

Demikianlah keumuman sikap setiap kelompok terhadap madzhab imam dan gurunya masing-masing.

Fanatisme madzhab bukan saja telah menghambat pemikiran, menghancurkan otak-otak cemerlang, tapi juga menimbulkan perpecahan di kalangan kaum Muslim. Dalam sejarah, telah terjadi beberapa kali, mereka saling mengkafirkan yang kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.

Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi'i memegang kekuasaan. Ia selalu mengecam Ahmad ibn Hanbal dan para pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme. Dengan bantuan penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa. Pengikut al-Qusyayry menutup pintu-pintu pasar madrasah Nizhamiyah. Lalu, terjadilah pertumpahan darah antara kedua golongan. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil kedua belah pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata: "Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian terjadi di antara orang yang memperebutkan kekuasaan atau kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami kafir dan kami menganggap orang-orang yang aqidahnya tidak sama dengan kami juga kafir. Maka perdamaian macam apa yang bisa berlaku di antara kami."

Semoga Bermanfaat..^_^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar